Batin adalah sebuah kondisi. Batin bukan tenang, tidak juga bergejolak. Batin tidak bahagia, tidak juga sedih. Batin bukan sikap mental positif, bukan juga sikap mental negatif. Batin tidak bahagia, tidak juga menderita/sedih. Batin adalah sebuah kondisi.
Ketika kita bermeditasi, kita berlatih
untuk menyadari apa itu batin, menyelaminya, dan sadar akan kondisi batin itu
sendiri.
Lalu darimana datangnya segala rasa
bahagia, sedih, penderitaan, iri, dengki, dan segala aneka rasa lainnya? Semua
itu hanyalah sebuah reaksi biokimia di dalam tubuh kita ketika indra kita
bersentuhan dengan sesuatu objek di luar. Inilah yang biasa kita sebut dengan
istilah fenomena.
Seseorang merasa bahagia ketika mendapatkan
suami/istri yang pengertian, anak yang berbakti, apakah batin merasa bahagia?
Tidak, itu hanyalah sebuah reaksi biokimia kompleks yang terjadi di dalam tubuh
kita akibat dari rangsangan terhadap apa yang kita terima di dalam kehidupan
ini.
Begitu juga seseorang merasa sedih ketika
ditinggalkan oleh orang yang dicintai, apakah batin merasa sedih? Tidak, itu
juga hanyalah sebuah reaksi biokimia kompleks yang terjadi di dalam tubuh kita
akibat dari rangsangan terhadap apa yang kita terima.
Ketika seseorang berbicara kasar kepada
kita, kita merasa marah dan benci, semua itu hanyalah sebuah reaksi biokimia
yang kompleks yang terjadi di dalam tubuh kita akibat dari rangsangan terhadap
kata-kata kasar yang dilontarkan oleh orang ke kita.
Ketika seseorang memakan makanan enak,
apakah batin merasakan makanan enak tersebut? Tidak. Semua itu hanyalah sebuah
rangsangan ketika lidah kita mengecap suatu rasa makanan, lalu senyawa-senyawa algoritma biokimia di dalam tubuh kita bereaksi dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh, lalu menyampaikan ke
otak kita, dan otak kita mendapatkan sinyal dari reaksi algoritma biokimia kita
yang menyatakan bahwa rasa makanan itu enak. Tapi apakah batin merasakannya?
Tidak, batin tidak merasa. Semua rasa itu hanyalah sebuah fenomena, sebuah
reaksi ketika indera kita bersentuhan baik secara langsung maupun secara tidak
langsung terhadap sesuatu objek ataupun terhadap sesuatu kejadian.
Ketika seseorang berkata “batinku kacau,”
“batinku sedih,” batinku tidak bahagia,” “batinku bahagia,” apakah batin benar
merasakan semua itu? Tidak, batin tidak terpengaruh oleh segala rasa itu.
Karena semua itu hanyalah sebuuah rasa yang ditimbulkan oleh sebuah reaksi
terhadap apa yang dirasakan oleh indera.
Semua reaksi biokimia ini hanya akan terjadi ketika indera kita menerima suatu rangsangan, dan semua reaksi biokimia ini akan segera berakhir ketika rangsangan itu berakhir. Tidak ada rangsangan yang selamanya ada. Sehingga segala rasa bahagia, rasa sedih, rasa makanan enak, rasa makanan pahit, dan semua aneka rasa itu akan segera berakhir ketika tubuh ini tidak menerima rangsangan lagi. Inilah yang kita sebut dengan anicca atau tidak kekal.
Manusia cenderung untuk lebih suka menerima rangsangan biokimia yang enak dan nyaman karena memberikan rasa yang sesuai dengan kita inginkan, dan kita cenderung menghindari yang tidak enak. Namum fenomena di dalam hidup ini tidak ada yang abadi, semua selalu datang dan pergi secara silih berganti.
Seiring dengan seringnya kita menerima rangsangan yang enak, rangsangan rasa bahagia, tubuh akan semakin terbiasa dengan rangsangan yang ada sehingga kita akan membutuhkan rangsangan yang lebih dan lebih lagi. Inilah sebabnya tidak ada pernikahan yang bahagia selamanya, inilah sebabnya walaupun seharmonis apapun juga sebuah pernikahan, tetap akan selalu ada pertengkaran di dalam sebuah rumah tangga. Bahkan banyak pasangan yang setelah menikah sekian tahun semakin kehilangan rasa kasih sayang di antara sesama. Begitu juga sama halnya dengan makanan yang enak yang setelah kita makan berkali-kali, secara perlahan kita akan mulai bosan dengan rasa makanan tersebut dan menginginkan untuk mencicipi makanan lainnya yang lebih enak lagi.
Manusia tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki karena tubuh kita membutuhkan sebuah stimulasi rangsangan algoritma biokimia secara terus menerus. Sehingga ketika kita memiliki benda A, setelah kita terbiasa dengan rangsangan benda A, tubuh menjadi beradaptasi dengan rasa A, sehingga dengan cepat kita tidak merasakan A lagi, dan kita akan segera mengejar rasa B, lalu rasa C, rasa D dan rasa-rasa berikutnya tanpa henti. Hal ini menyebabkan kita terkungkung di dalam sebuah penderitaan terhadap pencarian akan sesuatu yang tidak kekal, pencarian terhadap sesuatu rasa yang hanya akan bertahan sesaat di dalam tubuh kita.
Reaksi biokimia di dalam tubuh ini sama seperti narkoba. Ketika seseorang pertama kali memakai narkoba, dia hanya butuh dosis kecil untuk bisa fly high. Tapi seiring dengan terbiasanya tubuh dengan dosis kecil, tubuh tidak merasakan fly high lagi dengan dosis kecil sehingga membutuhkan dosis yang lebih besar dan lebih besar lagi sehingga menjadi sebuah kecanduan. Sama halnya seperti kecanduan akan narkoba, manusia telah terjebak dalam pencarian kenikmatan tubuh yang tiada akhir sehingga melupakan kondisi batin sejatinya.
Lalu apakah kita harus meninggalkan semua pengejaran akan duniawi untuk mencari batin sejati? Tidak. Kita bisa berdampingan dalam pencarian batin sejati seiring dengan pencarian kekayaan duniawi. Dalam dunia modern ini, kita butuh ekonomi yang mendukung untuk kita dalam pencarian batin ini. Adalah omong kosong seseorang bisa menemukan batin sejati ketika sedang dalam kelaparan, kekurangan. Reaksi algoritma biokimia di dalam tubuh kita akan terus menerus bereaksi terhadap kelaparan dan ketidaknyamanan yang diterima oleh indera kita, dan itu akan sangat menganggu kita dalam pencarian batin sejati kita.
Jika kita berlatih meditasi dengan baik,
maka kondisi batin kita akan teguh, dan kita akan menyadari bahwa semua itu
hanyalah sebuah reaksi biokimia terhadap rangsangan yang diterima oleh indera
kita, dan kita akan bisa memilih untuk mengontrol segala rangsangan yang
terjadi pada tubuh kita. Batin tidak akan terpengaruh oleh semua itu, sehingga
kita tidak jatuh ke dalam sebuah “rasa”. Dengan praktik meditasi yang mendalam, kita
berlatih untuk mengembangkan penyadaran murni terhadap kondisi batin, sehingga
kita akan senantiasa berada dalam kondisi sadar batin.
Dengan berada dalam kondisi "sadar" batin, kita tidak akan terlena dengan segala rasa nyaman, rasa bahagia, rasa enak yang dialami oleh tubuh. Begitu juga kita tidak akan merasa menderita dengan reaksi algoritma biokimia terhadap rasa tidak nyaman, rasa sedih, menderita, dan segala sesuatu yang tidak enak. Kita sadar bahwa semua itu hanyalah sebuah fenomena yang sesungguhnya tidak mempengaruhi batin kita.
Batin dalam keadaan alaminya, batin sejati
adalah sebuah kondisi yang bukan bahagia, bukan juga tenang, bukan menderita,
bukan benci, bukan segalanya. Sebuah kondisi yang tidak ada apa-apa, yang tidak
terpengaruh, tidak ternodai oleh segala rangsangan dari luar. Batin tidak
terang, tidak juga gelap. Batin tidak
bersih, tidak juga kotor.
Sifat orisinil batin tidak tergoyahkan, dan
tidak bisa dikotori, tidak bisa dihias oleh segala sesuatu. Batin orisinil itu
tidak hening, tidak juga bergejolak. Kita menjadi bergejolak, merasakan rasa
sedih dan bahagia, semua itu hanya karena kita bereaksi terhadap reaksi
biokimia yang bereaksi terhadap rangsangan yang kita terima.
Tujuan dari belajar meditasi adalah untuk
mencapai “kondisi” batin sejati, kondisi batin yang orisinil, batin yang paling
tidak berawal, juga tidak berakhir, yang semua itu sudah ada di dalam kita.
Nb. Tulisan ini adalah hasil dari pengalaman pribadi penulis dari hasil meditasi dan perenungan mendalam. Mungkin tulisan ini akan jadi kontroversi bagi sebagian kalangan yang punya pandangan berbeda. Tidak ada tujuan apapun dari penulis untuk menimbulkan kontroversi, karena pengalaman batin setiap orang berbeda. Jika ada pembaca yang mempunyai pengalaman dan pandangan yang berbeda, mungkin boleh berbagi pengalaman dengan saya. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua, dan semoga kita semua tercerahkan dalam sebuah pengalaman batin yang luar biasa.
Posting Komentar