Kisah Di Balik Sejarah Tiga Kerajaan (Sam Kok) – Fakta dan Mitos Cao Cao (Part VIII)

Pada tulisan kali ini kita masih akan membahas lanjutan tentang Cao Cao. Pada tulisan sebelumnya kita membahas tentang latar belakang keluarga Cao Cao yang berasal dari keluarga kasim yang pada zaman itu menjadi bahan gunjingan di masyarakat. Selain itu Cao Cao juga tidak mendapatkan pola pendidikan yang baik di dalam keluarganya. Cao Cao adalah seorang yang apa adanya yang tidak peduli dengan segala aturan norma yang berlaku di masyarakat. Lalu bagaimana seorang yang seperti Cao Cao bisa mencapai puncak hegemoni kekuasaan? Apakah benar Cao Cao telah bercita-cita untuk melakukan makar terhadap Dinasty Han?

Pada zaman Dinasty Han, seorang yang ingin merangkak masuk ke dalam masyarakat kelas atas (pejabat) harus mendapatkan rekomendasi dan penilai dari pejabat yang khusus memberikan penilaian pada zaman itu. Cao Cao pertama kali mendapatkan penilaian dari Xu Shao. Xu Shao memberikan penilaian: 治世之能臣;乱世只奸雄 (zhìshí zhī néngchén; luànshì zhī jiānxióng), yang artinya: pejabat hebat/berkompeten yang bisa mengelola negara; seorang jiānxióng di zaman ketika negara kacau. Lalu apakah cita-cita Cao Cao ingin menjadi seorang pejabat yang berkompeten atau menjadi seorang jiānxióng?

Pada tahun 174 M, Cao Cao yang berusia 20 tahun mendapat rekomendasi dan penilaian dari Xu Shao, dia mendapat gelar xiàolián (孝廉). Pada zaman itu seseorang yang ingin masuk ke dalam pemerintahan, selain harus mendapatkan rekomendasi, juga harus mendapatkan gelar xiàolián. Xiào artinya berbakti, lián artinya bersih. Mendapatkan gelar xiàolián ibarat mendapatkan sebuah ijazah pada zaman ini, sehingga seseorang dianggap layak untuk ikut ujian negara untuk mendapatkan sebuah jabatan di dalam pemerintahan.

Jabatan pertama yang didapat oleh Cao Cao adalah 洛阳北部尉 (Luòyáng běibù wèi). Luoyang adalah sebuah kabupaten tempat dimana ibukota Dinasty Han berada pada saat itu. Běibù bisa diartikan sebagai bagian utara. Pada zaman itu kabupaten dibagi menjadi kategori besar dan kecil. Bupati pada kabupaten besar disebut 县令 (xiànlìng), bupati pada kabupaten kecil disebut 县长(xiànzhǎng). Setiap bupati pada zaman itu mempunyai dua wakil yang disebut (chéng) dan (wèi). Chéng bertanggung jawab atas data kependudukan dan pajak, sementara wèi bertanggung jawab atas keamanan. Jadi jabatan wèi lebih kurang setara dengan kepala polisi pada zaman sekarang. Karena Luòyáng adalah tempat dimana ibukota negara berada sehingga jabatan wèi dibagi menjadi dua yaitu bagian utara dan bagian selatan. Jadi jabatan yang diemban oleh Cao Cao pada saat itu adalah kurang lebih setara Kepala Polisi (kepala keamanan) Luoyang bagian utara.

Jabatan Luòyáng běibù wèi bukanlah jabatan yang mudah diemban pada saat itu. Seperti yang kita ketahui Luoyang adalah ibukota Dinasty Han pada saat itu, tempat dimana banyak pejabat tinggi tinggal. Para pejabat tinggi dan keluarga mereka ini semua adalah orang-orang yang selama ini tidak taat aturan dan sesuka hati berbuat keonaran di masyarakat. Selama ini tidak ada petugas keamanan yang berani memberikan tindakan yang tegas terhadap keluarga para pejabat ini. Ketika Cao Cao pertama kali mulai mengemban jabatan ini, Cao Cao melihat semua kekacauan ini. Hal pertama yang dilakukan oleh Cao Cao saat itu adalah langsung memberikan pengumuman akan segera menindak tegas terhadap semua orang yang melanggar hukum tanpa pandang bulu.

Pada saat itu ada seorang yang bernama Jian Tu yang sering berbuat keonaran sesuka hati di masyarakat. Jian Tu adalah paman dari Jian Shuo1. Jian Shuo adalah salah seorang kasim yang sangat berpengaruh karena sangat dekat dengan Kaisar Ling2 pada saat itu. Karena merasa keponakannya dekat dengan sangat penguasa, Jian Tu tidak pernah taat hukum dan selalu bertindak semena-mena di masyakarat.

Pada saat itu ada aturan jam malam yang melarang orang-orang untuk keluar pada malam hari. Jian Tu yang merasa dekat dengan kekuasaan tidak pernah taat pada aturan ini. Suatu hari Jian Tu tertangkap oleh anak buah Cao Cao karena mabuk-mabukan dan melanggar jam malam. Hukuman untuk seorang yang mabuk-mabukan dan melanggar jam malam pada saat itu adalah dipukul hingga mati. Walaupun Jian Tu mengatakan bahwa dia adalah paman dari Jian Shuo, Cao Cao tidak peduli dengan semua itu dan tetap menjalakan hukuman mati bagi Jian Tu.

Tentu saja ini membuat kehobohan di antara kalangan para pejabat. Membunuh paman dari seorang Jian Shuo tentu akan sangat berpengaruh pada masa depan karir Cao Cao. Cao Cao saat itu baru berusia 20 tahun. Semua orang mengerti bahwa seorang anak muda yang baru mulai meniti karir di pemerintahan tentu harus membina hubungan yang baik dengan para pejabat tinggi. Tentu saja tidak mungkin Cao Cao tidak mengerti akan hal ini. Lalu kenapa Cao Cao yang pintar dan selalu penuh perhitungan berani melakukan hukuman mati bagi Jian Tu? Apakah Cao Cao tidak memikirkan resikonya?

Para ahli sejarah pernah memperdebatkan kasus ini dan menghasilkan 3 kemungkinan:

  1. Cao Cao ingin mencari perhatian dan membuat semua orang kaget,
  2. Cao Cao ingin menegakkan hukum,
  3. Cao Cao belum mengerti bagaimana cara membangun hubungan relasi.

Mari kita bahas satu persatu dari ketiga poin di atas. Yang pertama adalah Cao Cao ingin mencari perhatian dan membuat semua orang kaget. Poin ini dihasilkan dari bukti karya tulis Cao Cao  yang berjudul 述志令 Shù Zhì Lìng. Di dalam Shù Zhì Lìng Cao Cao menulis:

孤始举孝廉,年少,自以本非岩穴知名之士,恐为海内人之所见凡愚,欲为一郡守,好作政教,以建立名誉,使世士明知之。

Terjemahan bebas dari tulisan Cao Cao tersebut adalah: Ketika saya pertama kali direkomendasikan sebagai xiàolián, umur masih muda, belum mempunyai nama yang terkenal, mungkin semua orang menganggap saya hanyalah orang biasa yang tidak berguna, tapi saya ingin menjadi seorang pejabat yang baik, perlu membuat sebuah gebrakan untuk menaikan nama supaya dikenal oleh semua orang.

Pada saat ini walaupun memangku jabatan sebagai kepala keamanan Luoyang (Luòyáng běibù wèi), tapi banyak pejabat di ibukota, terutama dari kalangan pejabat yang bukan golongan kasim, yang tidak memandang sebelah mata pada Cao Cao karena Cao Cao karena Cao Cao hanyalah keturunan dari seorang kasim. Seperti kita ketahui, walaupun kebanyakan kasim dekat dengan kaisar dan mempunyai pengaruh yang besar, namum banyak pejabat pada umumnya menganggap kasim adalah seseorang yang hina. Apalagi pada saat itu Cao Cao masih sangat muda, hanya berusia 20 tahun saja, dan sejak kecil Cao Cao sudah terkenal suka membuat keonaran di masyarakat. Jadi banyak orang yang tidak memandang sebelah mata pada Cao Cao.

Selain itu ada beberapa bukti sejarah yang menyatakan mungkin penampilan fisik Cao Cao juga tidak terlalu ideal. Seperti yang kita ketahui ketika kita membaca Buku Catatan Sejarah San Guo Zhi3 (Records of the Three Kingdoms) karya Chen Shou4, setiap tokoh yang mempunyai penampilan fisik yang bagus selalu digambarkan secara mendetail. Contohnya adalah seperti tokoh Zhuge Liang, Zhou Yu, dan beberapa tokoh lainnya digambarkan secara mendetail tinggi badannya, penampilannya, dll, semua digambarkan dengan sangat jelas. Tapi Cao Cao sama sekali tidak mendapat gambaran tentang penampilan fisiknya di San Guo Zhi.

San Guo Zhi adalah buku sejarah yang ditulis pada abad ke 3 masehi, pada zaman Dinasty Jin5 yang masih erat hubungan kekerabatannya dengan Negara Wei6, sehingga kemungkinan kiblatnya lebih mengarah ke Negara Wei. Sehingga jika penampilan fisik Cao Cao menarik, tentu Chen Shou akan menggambarkannya dengan sempurna. Tapi di San Guo Zhi sama sekali tidak menggambarkan penampilan fisik Cao Cao kemungkinan karena penampilan Cao Cao tidak layak untuk digambarkan dalam catatan sejarah tersebut.

Mengenai penampilan fisik Cao Cao ada digambarkan di catatan sejarah yang lainnya. Gambaran tentang penampilan fisik Cao Cao di catatan sejarah lain adalah tinggi badannya tidak tinggi alias pendek. Tentu ini tidak bisa dibandingkan dengan Zhuge Liang yang mempunyai tinggi badan 1,84 meter, ataupun Zhou Yu yang digambarkan sebagai seorang pemuda yang tampan dan gagah.

Di buku 世说新语 Shì Shuō Xīn Yǔ7 (A New Account of the Tales of the World) ada sebuah cerita ketika Cao Cao telah menjadi Raja Wei, pihak Xiongnu8 mengutus seorang duta untuk mengunjungi Cao Cao. Cao Cao merasa penampilan fisiknya yang pendek kurang menarik sehingga merasa kurang percaya diri untuk menemui utusan dari  Xiongnu. Akhirnya Cao Cao memerintahkan Cui Yan9 untuk  berpura-pura menggantikannya sebagai Cao Cao guna menemui utusan dari Xiongnu. Cui Yan diperintahkan memakai pakaian Raja Wei, dan duduk di tempat kehormatan Raja Wei. Cao Cao sendiri malah berdiri di samping Wei Yan, menyamar sebagai body guardnya. Setelah pertemuan itu selesai, Cao Cao mengutus seseorang untuk bertanya ke utusan Xiongnu guna menanyakan kesannya tentang Raja Wei. Utusan Xiongnu jawab: “Raja Wei adalah seorang yang hebat dan berwawasan luas, penampilannya juga tinggi dan ganteng. Tapi pengawal yang berdiri di samping Raja Wei itu kelihatan seperti seorang yang sangat berwibawa”.

Jadi bisa disimpulkan seorang yang hebat berwibawa belum tentu seorang yang tinggi besar. Tapi tentu saja saat ini Cao Cao belum berwibawa seperti ketika dia sudah menjadi Raja Wei, sehingga Cao Cao perlu melakukan sebuah gebrakan yang membuat heboh semua orang agar dia bisa dikenal oleh semua orang. Jadi keputusan Cao Cao untuk menghukum mati paman Jian Shuo adalah kesempatan bagi dia untuk menaikan pamor namanya agar bisa dikenal oleh semua orang.

Kemungkinan kedua adalah bahwa Cao Cao ingin menegakan hukum. Seperti yang kita ketahui, setelah Cao Cao berkuasa, Cao Cao adalah orang yang menganut paham 法治 (Fǎzhì)10 yang sangat tegas dalam menegakkan hukum. Ada kemungkinan idealisme ini sudah ada pada diri Cao Cao sejak masih muda sehingga dia dengan tegas menghukum mati Jian Tu, walaupun dia tahu dengan jelas itu akan berpengaruh pada karir masa depannya.

Cao Cao menganut paham Fǎzhì yang tegas dalam menegakan hukum ada dua faktor yaitu: pertama dipaksa oleh situasi dan kondisi, yang kedua itu adalah memang merupakan idealisme Cao Cao sejak awal. Yang dimaksud dengan dipaksa oleh situasi dan kondisi adalah pada saat zaman akhir Dinasty Han adalah masa dimana kondisi negara dalam keadaan chaos. Pada saat negara dalam keadaan kacau, maka dibutuhkan ketegasan dalam hukum untuk menegakkan keadilan.

Dikatakan bahwa Cao Cao mempunyai idealisme yang tinggi terhadap penegakan hukum adalah karena Cao Cao adalah seorang yang tegas. Dalam kehidupan sehari-hari Cao Cao adalah orang yang apa adanya, berpakaian apa adanya, makan yang apa adanya aja. Cao Cao tidak peduli pada segala aturan norma sopan santun. Namun walaupun demikian, ketika dihadapkan dalam kondisi formal, Cao Cao selalu sangat hormat dengan aturan formal di dalam istana kerajaan.

Kemungkinan yang ketiga yaitu Cao Cao belum mengerti cara membangun hubungan relasi. Ini kemungkinan karena saat ini Cao Cao baru baru berusia 20 tahun, baru pertama kali menginjakkan kaki di masyarakat sehingga belum begitu mengerti pentingnya membangun hubungan relasi dengan para pejabat tinggi untuk masa depan karirnya. Dan di awal mengemban jabatan sebagai kepala keamanan Luoyang, Cao Cao terlanjur menegaskan akan menindak tegas semua orang yang melanggar hukum tanpa pandang bulu, sehingga ketika Jian Tu melanggar aturan jam malam, Cao Cao yang masih muda pun terbawa idealisme untuk menghukum mati Jian Tu.

Tentu saja saat ini kita tidak bisa tahu dengan pasti apa yang ada dipikiran Cao Cao pada saat memutuskan untuk menghukum mati Jian Tu. Ketiga kemungkinan di atas itu hanyalah kemungkinan hasil dari perdebatan para ahli sejarah saja. Tapi ada satu hal yang bisa dipastikan adalah keputusan Cao Cao untuk menghukum mati Jian Tu telah membuat semua pejabat di Luoyang terperangah, terutama golongan para kasim yang dekat dengan kaisar, dan tentu saja ini membuat mereka semua menjadi tidak senang, karena selama ini tidak ada yang pernah mengganggu mereka ketika mereka bertindak semena-mena di masyarakat.

Walaupun demikian, para golongan kasim yang ingin menindak Cao Cao tidak bisa berbuat apa apa karena apa yang dibuat Cao Cao adalah menegakkan hukum. Selain itu Cao Cao punya back up keluarga yang juga merupkan pejabat tinggi di istana kerajaan, kakeknya Cao Cao, Cao Teng juga merupakan seorang kasim senior di istana kerajaan. Begitu juga ayah Cao Cao, Cao Song menjabat sebagai seorang 太尉 Tài Wèi yang mengepalai angkatan bersenjata. Akhirnya para golongan kasim mendapatkan sebuah ide untuk menyingkirkan Cao Cao dari ibukota Luoyang.

Para kasim berkata pada Kaisar, Cao Cao adalah seorang yang berbakat, sangat tegas dalam menegakkan hukum, Cao Cao harus naik jabatan. Akhirnya Cao Cao dipromosikan untuk menjadi seorang 县令 (xiànlìng) atau setara dengan bupati, tapi bupati di daerah yang jauh dari ibukota Luoyang. Dengan cara mempromosikan kenaikan jabatan satu tingkat bagi Cao Cao, Cao Cao dipindahkan ke daerah yang jauh dari ibukota Luoyang. Akhirnya Cao Cao dipromosikan menjadi bupati di kabupaten Dun Qiu yang jauh dari ibukota Luoyang.

Tidak berapa lama setelah menjabat sebagai bupati di kabupaten Dun Qiu, Cao Cao kembali dipanggil ke ibukota untuk menjadi seorang 议郎 yì láng, atau setara seperti pejabat investigator di zaman sekarang. Ketika menjadi pejabat investigator di Luoyang kembali Cao Cao membuat pejabat di ibukota terusik ketenangannya, akhirnya Cao Cao kembali lagi dipindahkan untuk menjadi bupati di daerah Ji Nan.

Baik ketika menjadi bupati di daerah maupun menjadi investigator di ibukota Luoyang, Cao Cao selalu menunjukan performa kerja yang baik. Cao Cao juga bahkan sering menulis masukan untuk disampaikan ke istana, tapi semua masukannya hanya dianggap angin lalu dan tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah pusat. Malahan Cao Cao sering mendapat tuduhan fitnah yang dilaporkan ke pemerintah pusat oleh pejabat di daerah.

Cao Cao merasa sangat kecewa dengan pemerintah Dinasty Han pada saat itu, dan merasa Dinasty Han sudah tidak tertolong lagi. Cao Cao yang sepenuh hati ingin mengabdi pada negara akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan pulang ke kampung halamannya. Cao Cao menghabiskan waktunya dengan menjalani hobi nya membaca buku dan berburu di masa ini.

Dari pembahasan cerita masa muda Cao Cao ketika awal-awal memulai karir politiknya, bisa disimpulkan bahwa sebenarnya Cao Cao pada awalnya bercita-cita untuk menjadi seorang pejabat bersih yang ingin memberikan kontribusi besar pada negara. Namun kondisi politik pada masa itu yang penuh dengan korupsi tidak memberikan panggung bagi seorang Cao Cao untuk membuktikan dirinya sebagai seorang pejabat yang berkompeten.

Lalu bagaimana perjalanan Cao Cao berikutnya hingga menjadi seorang jiānxióng? Perubahan kondisi politik seperti apa yang memberikan Cao Cao sebuah kesempatan untuk kembali ke panggung politik akhir Dinasty Han? Nantikan tulisan berikutnya.


  1. Jian Shuo (? – 189M) adalah seorang kasim senior yang dekat dengan Kaisar Ling. Jian Shuo juga merupakan pemimpin dari faksi Sepuluh Kasim yang merupakan kelompok kasim yang paling berpengaruh pada saat itu. Pada tahun 189M ketika Kaisar Ling meninggal, Jian Shuo sempat ingin menurunkan Kaisar Liu Bian dan menggantikannya dengan Liu Xie, selain itu juga berencana untuk membunuh abang dari Permaisuri He, He Jin, yang saat itu menjabat sebagai Jendral Tertinggi Kerajaan Dinasty Han. Namum rencananya gagal, akhirnya Jian Shuo ditangkap dan dihukum mati oleh He Jin.

  2. Liu Hong (156 – 13 Mei 189) atau dikenal dengan Emperor Ling of Han (Kaisar Ling), adalah kaisar ke 12 dari Dinasty Han Timur.

  3. Sanguo zhi (三国志) atau dikenal dengan Catatan Sejarah Tiga Negara (Records of the Three Kingdoms) adalah sebuah catatan sejarah resmi mengenai Zaman Tiga Negara meliputi periode dari tahun 189 sampai tahun 280 yang disusun oleh Chen Shou pada abad 3 Masehi. Karya tersebut merupakan koleksi dari semua sejarah ke-3 negara bagian yaitu Wei, Wu dan Shu dalam suatu catatan yang kemudian menjadi dasar sebuah roman yang dikenal dengan nama Kisah Tiga Negara. Catatan sejarah ini menjadi salah satu buku sejarah dari 25 buku sejarah Tiongkok (二十五史). Pada dasarnya, catatan sejarah ini tidak memiliki alur cerita yang bersambung, melainkan menceritakan sejarah setiap negara dan tokoh-tokoh dari negara tersebut dalam bab-bab tersendiri.

  4. Chen Shou adalah seorang sejarawan yang hidup di Zaman Tiga Negara dan awal Dinasti Jin barat (265–420). Ia terkenal sebagai penulis Catatan Sejarah Tiga Negara (三国志), suatu catatan sejarah dari Dinasti Han Timur akhir dan periode "Tiga Negara" di Tiongkok.

  5. Dinasty Jin (266 – 420M) adalah Dinasty di  China yang berdiri setelah peristiwa Periode Tiga Kerajaan. Dinasty Jin didirikan oleh Sima Yan yang merupakan anak dari Sima Zhao dan cucu dari Sima Yi yang merupakan Jendral dari Negara Wei. Awal berdirinya Dinasty Jin masih di Periode Tiga Kerajaan (220 – 280M). Dinasty Jin akhirnya berhasil menyatukan China Daratan setelah perang yang tidak berkesudahan antara 3 negara selama periode Tiga Kerajaan.

  6. Negara Wei atau dikenal dengan Cao Wei (220 – 265M) adalah sebuah negara yang ikut berkompetisi dalam merebut hegemoni kekuasaan selama Periode Tiga Kerajaan. Negara Wei didirikan oleh Cao Pi yang merupakan anak dari Cao Cao.

  7. Shì Shuō Xīn Yǔ atau dikenal dengan A New Account of the Tales of the World adalah kumpulan catatan sejarah dari berbagai penulis, ahli sejarah, dan kaum terpelajar selama abad ke 2 – 4 masehi, yang dikumpulkan dan diedit oleh Liu Yiqing.

  8. Xiongnu adalah suku nomad yang tinggal di bagian timur Stepa Eurasia. Sebagian besar informasi mengenai Xiongnu berasal dari sumber-sumber sejarah China Kuno, sehingga nama-nama dan gelar Xinongnu yang diketahui sekarang merupakan transliterasi bahasa Mandarin dari bahasa asli Xiongnu. Sumber-sumber Sejarah China Kuno dari abad ke-3 SM melaporkan bahwa bangsa Xiongnu mendirikan sebuah kekaisaran di bawah Modu Chanyu, pemimpin agung mereka setelah tahun 209 SM. Kekaisaran ini membentang melampau perbatasan Mongolia modern. Setelah mengalahkan suku Yuezhi yang sebelumnya dominan pada abad ke-2 SM, Xiongnu menjadi kekuasaan yang dominan di stepa di Asia timur. Mereka aktif di Siberia, Mongolia, Manchuria barat, dan provinsi Mongolia Dalam, Gansu dan Xinjiang di China. Hubungan antara dinasti-dinasti awal Tiongkok dengan Xiongnu cukup rumit, dengan adanya periode konflik militer dan intrik yang berulang dan silih berganti, serta ada pula pertukaran upeti, perdagangan, dan kesepakatan pernikahan.

  9. Cui Yan (165 – 216M), nama kehormatan Jigui, adalah seorang politisi yang melayani Cao Cao selama periode Akhir Dinasty Han. Cui Yan akhirnya bunuh diri di bawah tekanan dari Cao Cao. Kematian Cui Yan menimbulkan banyak kontroversi pada saat itu.

  10. 法治 (Fǎzhì) atau dalam Bahasa Inggris dikenal dengan sebutan Rule of Law adalah prinsip hukum yang menyatakan bahwa negara harus diperintah oleh hukum dan bukan sekadar keputusan pejabat-pejabat secara individual. Prinsip tersebut biasanya merujuk kepada pengaruh dan wewenang hukum dalam masyarakat, terutama sebagai pengatur perilaku, termasuk perilaku para pejabat pemerintah.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama