Tidak terasa sudah beberapa hari aku menghabiskan waktu di Sintang, kota dengan seribu satu kenangan bagi diriku. Awalnya aku hanya berencana untuk singgah 1-2 hari saja di kota kecil ini dan lalu melanjutkan perjalanan ke Danau Sentarum dan ke Putussibau. Tapi entah kenapa rasanya aku jadi cukup betah tinggal di sini selama beberapa hari ini.
Selama beberapa hari di sini, hampir tiap hari aku selalu menyempatkan waktu untuk sekedar lari pagi ataupun jalan santai di pagi hari nya. Kemarin ketika dirku sedang jalan pagi menyusuri Sungai Kapuas dan keliling di sekitar Hutan Kota Baning, diriku benar-benar menikmati setiap sudut keindahan alam yang ada di sekitarnya.
Sebagai seorang yang tinggal di kota metropolitan Jakarta, rasanya sudah tidak ada ruang hijau yang alami seperti ini lagi. Rentak kehidupan modern di metropolitan yang serba cepat membuat kita semua kehilangan arti daripada hidup itu sendiri. Setiap hari kebanyakan dari kita berangkat kerja pagi-pagi buta bahkan sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam. Saking sibuknya kehidupan ini, sampai kita bahkan tidak pernah memperhatikan keindahan-keindahan kecil yang ada di sekeliling kita.
Terkadang aku berpikir dan merenung apa tujuan dari hidup ini? Apakah hanya sekedar lahir, sekolah, bekerja, pacaran, menikah, punya anak, lalu tua dan mati? Kebanyakan orang tujuan awal ketika mulai bekerja adalah untuk hidup, tapi setelah sekian lama bekerja tanpa disadari kita mulai bekerja dan bekerja saja dan lupa tujuan awal kita bekerja untuk apa. Kita bekerja dan melupakan apa tujuan dari pada kehidupan itu sendiri.
Pagi itu ketika diriku sedang berjalan menyusuri Sungai Kapuas dan lalu keliling Hutan Kota Baning, aku melihat beberapa bunga liar yang tumbuh di sepanjang tepi jalan. Tiba-tiba diriku terhentak dan berhenti untuk sekedar menikmati keindahan yang bahkan mungkin tidak pernah diperhatikan oleh orang-orang. Aku merenung, apa sih tujuan aku datang ke dunia ini? Apakah hanya untuk sekedar tumbuh besar, sekolah, bekerja, menikah dan punya anak seperti orang-orang umumnya? No, my life is more precious for such a mediocre life like that. Yach, aku merasa hidup ini terlalu sayang untuk hal-hal yang biasa seperti itu. Lalu apa tujuan aku datang ke dunia ini kalau bukan hanya untuk sekedar seperti itu?
Aku teringat puisi karya Robert Frost:
Two roads diverged in a yellow wood,And sorry I could not travel bothAnd be one traveler, long I stoodAnd looked down one as far as I couldTo where it bent in the undergrowth;Then took the other, as just as fair,And having perhaps the better claim,Because it was grassy and wanted wear;Though as for that the passing thereHad worn them really about the same,And both that morning equally layIn leaves no step had trodden black.Oh, I kept the first for another day!Yet knowing how way leads on to way,I doubted if I should ever come back.I shall be telling this with a sighSomewhere ages and ages hence:Two roads diverged in a wood, and I—I took the one less traveled by,And that has made all the difference.
Yeah, I take the one less traveled by, and I believe that will make all the difference. Aku datang ke dunia ini untuk hidup, bukan untuk sekolah, bekerja, menikah dan punya anak. Aku datang ke dunia ini untuk melihat bagaimana bunga-bunga tumbuh, bagaimana air mengalir, indahnya sunrise dan sunset, merasakan hembusan angin sepoi-sepoi, dan semua keindahan alam lainnya yang mungkin terabaikan oleh kita semua.
Pagi itu aku benar-benar menikmati keindahan setiap bunga-bunga liar yang kujumpai di tepi jalan, bunga-bunga yang aku sendiri tidak tahu apa namanya, bunga-bunga yang mungkin selama ini terabaikan oleh orang-orang yang sibuk dan lewat begitu saja. Aku benar-benar belajar untuk “hidup” dan merasakan alam sekitarku.
Posting Komentar