Kisah Di Balik Sejarah Tiga Kerajaan (Sam Kok) – Fakta dan Mitos Cao Cao (Part VII)

Pada tulisan sebelumnya kita pernah membahas tentang berbagai kepribadian seorang Cao Cao yang sangat complicated, yang bisa berubah-rubah dari seorang yang penuh pemaaf menjadi seorang yang bisa  membunuh tanpa berkedip mata sekalipun. Menurut catatan sejarah, ketika masa kecilnya, Cao Cao adalah seorang yang pemalas, seorang yang suka mengerjai orang lain, lalu kenapa seorang anak seperti ini ketika tumbuh dewasa malah bisa menjadi seorang yang sukses di dalam karirnya?

Cao Cao mungkin merupakan tokoh yang paling banyak dimaki sepanjang sejarah China. Dalam catatan sejarah, Cao Cao memanfaatkan kaisar untuk memerintah para warlord, dan ketika negara Han dalam kondisi chaos, dia berhasil memanfaatkan kesempatan untuk menguasai sebagian besar wilayah China Utara dan mendaki ke puncak hegemoni kekuasaan pada zaman itu. Cao Cao dimaki sebagai seorang jiānxióng (奸雄). Lalu apa itu jiānxióng? Kenapa Cao Cao bisa disebut sebagai seorang jiānxióng? Kenapa bukan disebut sebagai seorang jiānzéi (奸贼) atau bukan disebuat sebagai seorang xiāoxióng (枭雄)?

Kata jiānxióng terdiri dari dua kata yaitu jiān dan xióng. Kata jiān sendiri bisa diartikan: licik, tidak setia pada negara, pengkhianat negara, egois. Kata xióng bisa diartikan: berjiwa besar, bercita-cita tinggi, mempunyai kekuasaan besar. Kata jiān dan xióng sendiri ketika digabung menjadi jiānxióng bisa berarti: seorang yang menghalalkan segala untuk memperoleh kekuasaan.

Kata jiānzéi terdiri kata jiān dan zéiZéi sendiri berarti: pencuri, penjahat, pengkhianat, licik. Jadi kata jiānzéi sendiri bisa berarti seorang penjahat/pengkhinat negara yang licik.

Sedangkan kata xiāoxióng terdiri dari kata xiāo dan xióng. Kata xiāo sendiri bisa diartikan: memaksa dengan kekerasan. Jadi kata xiāoxióng adalah seorang yang mendapatkan kekuasaan dengan jalan kekerasan.

Hanya seorang yang licik yang menghalalkan segala cara dalam memperoleh hegemoni kekuasaanlah baru bisa disebut sebagai seorang jiānxióng. Contoh jiānzéi adalah Yan Song1 dari Dinasti Ming. Yan Song disebut jiānzéi karena melakukan korupsi besar-besaran selama menjabat sebagai sekretariat agung yang mengakibatkan banyak rakyat menderita. Yan Song memiliki jabatan yang tinggi yang berpengaruh di zamannya, penuh korupsi, memanfaatkan posisinya untuk memperjual-belikan jabatan, licik, tapi tidak mempunyai cita-cita besar untuk bisa tetap mempertahakan kekuasaannya, sehingga akhirnya jatuh, orang seperti ini disebut jiānzéi.

Sedangkan contoh xiāoxióng adalah Dong Zhuo2. Dong Zhuo memanfaatkan kekuatan militernya untuk melakukan kekerasan dan bertindak semena-mena, membunuh para pejabat, tidur dengan para selir kaisar, bahkan sesuka hati menurunkan Kaisar Liu Bian dan menggantinya dengan Liu Xie untuk menjadi Kaisar Dinasti Han. Dong Zhuo juga bercita-cita untuk menjadi kaisar. Namun demikian Dong Zhuo adalah orang yang gegabah, kurang licik dan tidak pandai dalam berstrategi, sehingga semua rencananya tidak berjalan mulus dan berakhir dengan mengenaskan. Orang seperti Dong Zhuo yang punya kekuasaan tinggi dan juga bercita-cita tinggi namun tidak pandai berstrategi hanya bisa disebut sebagai xiāoxióng.

Lalu apakah benar Cao Cao bisa disebut sebagai seorang jiānxióng? Jawabannya Iya, Cao Cao adalah seorang jiānxióng.

Latar belakang keluarga Cao Cao tidak begitu baik. Ada beberapa catatan sejarah tidak resmi yang menyatakan Cao Cao adalah keturunan dari Cao Can3. Tentu saja ini tidak bisa dibuktikan kebenarannya walaupun Cao Cao adalah marga Cao. Faktanya adalah ayah Cao Cao bernama Cao Song, dan Cao Song ini memperoleh marga Cao dari ayah angkatnya Cao Teng. Cao Teng adalah seorang kasim4 yang tidak bisa mempunyai keturunan. Jadi sebenarnya marga Cao dari Cao Cao bukanlah dari garis keturunan asli. Jadi walaupun seandainya bisa dibuktikan Cao Teng adalah keturunan dari Cao Can, hal ini tentu tidak ada hubungan darah langsung dengan Cao Cao.

Pada masa akhir Dinasti Han, para kasim lah yang menyebabkan negara jatuh dalam chaos. Jabatan seorang kasim sering kali dipandang hina pada zaman itu. Apalagi anak dari seorang anak angkat kasim? Masyarakat zaman itu menganggap anak angkat seorang kasim adalah anak yang derajatnya sangat terhina. Cao Cao sejak kecil selalu dihina oleh teman-teman karena kakeknya yang seorang kasim. Tentu saja walaupun demikian, kondisi ekonomi keluarga Cao Cao sangat baik karena kakek dan ayahnya Cao Cao bekerja di istana kerajaan.

Walaupun latar belakang ekonomi keluarga Cao Cao bagus, namum pendidikan yang diterima oleh Cao Cao kecil juga tidak terlalu baik. Hal ini terbukti dari sebuah puisi yang ditulis oleh Cao Cao di kemudian hari: 既无三徙教,不闻过庭语 (jì wú sānxǐjiào, bù wén guòtíngyǔ), artinya tidak ada sānxǐjiào, tidak pernah mendengar guò tíngyǔ. Apa itu sānxǐjiào dan guò tíngyǔ?

Sānxǐjiào adalah kisah klasik tentang ibu Mengzi5 pindah rumah sebanyak 3 (tiga) kali untuk memilih lingkungan belajar yang baik bagi anaknya. Sān xǐ artinya tiga kali pindah. Jadi pola pendidikan yang memilih lingkungan belajar yang baik seperti ibu Mengzi ini disebut dengan sānxǐjiào.

Guò tíngyǔ adalah kisah klasik tentang cara Confusius mengajar anaknya. Suatu hari ketika sedang Confusius duduk di halaman rumah dan anaknya Kong Li berjalan lewat. Confusius berkata: “berhenti, hari ini sudah belajar puisi?” “Belum” jawab Kong Li. “Tidak belajar puisi bagaimana kelak bisa berkomunikasi dengan baik?” Kong Li langsung pergi belajar puisi. Kali berikutnya Kong Li lewat lagi depan halaman, Confusius bertanya: “hari ini sudah belajar etika6?” “Belum” jawab Kong Li. “Tidak belajar etika bagaimana kelak bisa hidup di masyarakat?” Kembali langsung Kong Li pergi belajar etika. Cerita ini disebut guò tíngyǔ (过庭语) yang artinya percakapan ketika melewati halaman. Belakangan cara mendidik dari seorang ayah ke anaknya juga disebut dengan sebutan guò tíngyǔ, atau juga disebut dengan sebutan tíngxùn (庭训).

Kaum terpelajar masyarakat China kuno sangat mementingkan pendidikan bagi anaknya. Sehingga sering kali mereka berusaha memilih lingkungan dan guru yang baik untuk pendidikan bagi anak-anaknya. Dari puisi Cao Cao tersebut, bisa diketahui bahwa walaupun Cao Cao mempunyai latar belakang keluarga yang bekerja di istana kerajaan yang notabene pasti berpendidikan tinggi, tapi malah tidak mempunyai pola pendidikan keluarga yang baik.

Latar belakang keluarga Cao Cao tidak baik, pola pendidikan keluarga juga tidak baik, begitu juga pada masa anak-anak Cao Cao juga terkenal sebagai seorang yang licik dan nakal. Teman-teman masa kecilnya antara lain Yuan Shao, Zhang Miao, dan beberapa anak pejabat tinggi lainnya. Semasa kecil Cao Cao dan teman-temannya sering berbuat ulah di masyarakat, dan masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa pada mereka karena mereka adalah anak pejabat tinggi.

Walaupun Cao Cao punya latar belakang yang tidak begitu baik, tapi ada seorang yang sangat memandang tinggi Cao Cao. Orang ini Qiao Xuan yang pada saat itu menjabat sebagai seorang Tài Wèi (太尉). Jabatan Tài Wèi adalah setara dengan Panglima Tertinggi dari angkatan bersenjata pada zaman itu. Qiao Xuan merasa Cao Cao adalah seorang yang berbakat yang jarang ada. Qiao Xuan adalah seorang yang berpengalaman dalam politik, melihat kondisi Dinasty Han pada masa itu, Qiao Xuan sudah bisa meramalkan kelak Dinasti Han akan jatuh dalam kekacauan hebat. Qiao Xuan berkata pada Cao Cao, “kelak kalau dunia kacau, Anda adalah orang yang akan mampu membereskan kekacauan itu. Saya sudah tua dan tidak bisa berbuat apa-apa, kelak kalau Anda sudah sukses tolong bantu perhatikan kesejahteraan anak istri saya”. Cao Cao yang pada saat itu baru berumur 20 tahun saja tentu kaget mendengar semua ini.

Lalu kenapa seorang Qiao Xuan begitu memandang tinggi pada seorang Cao Cao? Berdasarkan catatan sejarah disebutkan alasannya karena Cao Cao sangat berbakat dalam sastra dan ilmu silat. Banyak puisi karya Cao Cao yang sangat bagus. Walaupun tidak mendapatkan dukungan pendidikan keluarga yang baik, Cao Cao pribadi adalah seorang yang sangat suka membaca buku, terutama buku strategi perang. Ada satu istilah yang sangat terkenal yaitu shǒu bù shì juàn (手不释卷) yang artinya tangan tidak pernah lepas dari buku, istilah ini berasal dari Cao Cao. Konon katanya Cao Cao sangat hobi membaca buku, bahkan sampai ketika turun ke medan perang pun dia selalu membawa buku untuk dibaca. Kebiasaan membaca buku ini tentu sebuah kebiasaan yang sangat bagus yang membuat wawasan dan pengetahuan Cao Cao menjadi sangat luas. Cao Cao jadi bisa mempunyai visi yang jauh ke depan berkat kebiasaannya yang banyak membaca buku.

Qiao Xuan tidak hanya mengagumi Cao Cao saja, dia juga mengenalkan Cao Cao pada Xu Shao untuk mendapatkan rekomendasi darinya. Pada zaman itu, seseorang yang ingin masuk ke dalam masyarakat kelas atas harus mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang khusus memberikan rekomendasi dan komentar tentang kepribadian seseorang. Xu Shao adalah pejabat yang pada saat itu khusus menilai dan memberikan rekomendasi pada orang pada zaman itu.

Pada awalnya Xu Shao menolak untuk memberikan rekomendasi pada Cao Cao. Tidak ada catatan sejarah resmi apa alasan kenapa Xu Shao terus ngotot menolak untuk memberikan rekomendasi pada Cao Cao untuk sekian lama. Tapi setelah Cao Cao dengan tegus terus mengunjungi Xu Shao selama berkali-kali, akhirnya Xu Shao memberikan penilaian yang sangat terkenal yaitu: 治世之能臣;乱世只奸雄 (zhìshí zhī néngchén; luànshì zhī jiānxióng), yang artinya: pejabat hebat yang bisa mengelola negara; seorang jiānxióng di zaman ketika negara kacau.

Respon Cao Cao ketika mendengar ini berdasarkan catatan sejarah resmi adalah: 太祖大笑 (Tàizǔ dà xiào), yang artinya Tàizǔ7 tertawa. Kisah ini ketika sampai di novel Sanguo Yanyi8 berbuah menjadi: 操闻之大喜 (Cāo wén zhī dàxǐ), yang artinya Cao Cao merasa sangat gembira ketika mendengarnya.

Ada perbedaan arti yang sangat mendalam antara kata 大笑 dàxiào dan 大喜 dàxǐ. Kata dàxiào sendiri bisa diartikan sebagai tertawa, sementara kata dàxǐ bisa diartikan sebagai merasa sangat gembira. Kata dàxǐ sendiri memberikan kesan seolah-olah Cao Cao sudah bercita-cita untuk menjadi seorang jiānxióng sejak muda, sehingga ketika mendengar penilaian dari Xu Shao bahwa dia akan menjadi seorang jiānxióng pada masa negara kacau, yang notabene artinya bisa dikonotasikan sebagai seorang pengkhinat negara, Cao Cao merasa sangat gembira.

Novel Sanguo Yanyi sendiri lebih memihak kepada pihak Liu Bei. Untuk menggambarkan Liu Bei sebagai seorang yang baik, maka perlu digambarkan seorang antagonis yang bertolak belakang dengan sifat seorang Liu Bei. Dan dalam hal ini Cao Cao lah yang digambarkan sebagai seorang penjahat di dalam novel tersebut. Cao Cao digambarkan seolah-olah telah bercita-cita untuk menjadi seorang pengkhianat negara sejak masa mudanya, sementara Liu Bei digambarkan sebagai seorang pahlawan yang sejak muda bercita-cita untuk membangun kembali Dinasti Han.

Saya pribadi merasa tidak mungkin seseorang akan merasa gembira ketika diberi penilaian akan menjadi seorang penjahat, tidak ada orang yang bercita-cita untuk menjadi seorang jahat sejak awal. Pada saat itu Cao Cao masih berusia 20 tahun, dan belum berpengalaman di politik dan pemerintahan. Cao Cao menjadi seorang jiānxióng dalam perjalanan hidup nya karena situasi dan kondisi yang memungkinkan, bukan karena cita-citanya sejak awal.

Walaupun banyak orang menilai Cao Cao jiānxióng dari segi jiān (licik), tapi menurut saya pribadi Cao Cao yang sesungguhnya lebih xióng (bercita-cita tinggi) dibandingkan jiān. Seumur hidupnya Cao Cao menunjukan bahwa dia ada seorang yang bercita-cita tinggi dan berkeinginan kuat untuk menjadi seorang penguasa yang hebat.

Di novel Sanguo Yanyi menggambarkan Liu Bei dan Cao Cao sebagai dua sosok tokoh yang saling bertolak belakang. Liu Bei sepanjang novel digambarkan seorang yang berhati halus yang sering menangis, sementara Cao Cao adalah seorang yang terus tertawa walaupun bahaya mengancam di depan mata. Bahkan ketika mengalami kekalahan besar dalam perang Chi Bi9, Cao Cao masih bisa tertawa lepas menertawakan pihak Sun Liu10 yang tidak memasang perangkap jebakan untuk memusnahkan Cao Cao sampai ke akar-akarnya. Sifat seperti ini adalah sifat seorang yang memandang dunia apa adanya, seperti sifat kepahlawanan dalam budaya masyarakat China yang digambarkan dengan kata 笑傲江湖 (xiào ào jiānghú)11.

Tentu saja Cao Cao juga pernah menangis seperti yang pernah kita bahas di tulisan sebelumnya. Cao Cao pernah menangis ketika Jendral kesayangannya Dian Wei terbunuh, ketika Guo Jia meninggal12. Tapi Cao Cao tidak pernah menangis ketika gagal, ketika kalah perang. Cao Cao malah menertawakan kekalahannya sendiri dan segera berinstropeksi serta menganalisa kenapa bisa sampai kalah. Inilah pribadi seorang Cao Cao yang perlu diambil hikmah positifnya.

Cao Cao adalah orang yang sangat apa adanya. Dalam hal berpakaian, Cao Cao bukanlah seorang yang pemilih. Bagi seorang Cao Cao yang terpenting nyaman dipakai sudah cukup. Dalam hal makanan, yang penting bisa buat kenyang sudah cukup.  Begitu juga dalam hal tempat tinggal, yang penting bisa melindungi diri dari panas dan hujan sudah cukup bagi seorang Cao Cao.

Jika bukan dalam acara resmi yang mewajibkan harus berpakain rapi, Cao Cao berpakaian apa adanya. Begitu juga dalam acara makan dengan teman dan bawahannya, Cao Cao adalah orang yang bebas yang tidak mempedulikan segala aturan norma. Secara adat sopan santun pada zaman itu, semua gerak gerik seorang pejabat itu menjadi panutan bagi semua orang pada umumnya, mulai dari cara berpakaian yang rapi, cara makan, cara berbicara yang sopan, dll. Cao Cao tidak peduli dengan semua itu. Cao Cao bisa berpakaian sederhana, dan tertawa lepas ketika sambil makan bersama teman-temanya, sesuatu yang lazimnya dianggap tidak sopan pada zaman itu.

Lalu bagaimana proses seorang Cao Cao dari seorang yang apa adanya hingga mencapai puncak hegemoni kekuasaan? Nantikan di tulisan berikutnya.


  1. Yan Song (1480 – 1567), nama kehormatan Weizhong, adalah seorang politisi yang menjabat sebagai Sekretariat Negara Dinasty Ming. Yan Song memanfaatkan posisinya untuk melakukan  korupsi besar-besaran, memperjual-beli jabatan sehingga banyak posisi jabatan strategis yang diisi oleh orang yang tidak berkompeten sehingga mengakibatkan negara kacau. Catatan sejarah mengatakan bahwa Yan Song berhasil mengumpulkan kekayaan yang sangat besar setara dengan kekayaan sang kaisar sendiri. Yan Song akhirnya dihukum mati pada tahun 1567.
  2. Dong Zhuo (? – 192 Masehi), nama kehormatan Zhongying, adalah seorang Jendral Militer (Warlord) pada akhir zaman Dinasti Han.
  3. Cao Can (? – 190 SM), nama kehormatan Jingbo, adalah seorang kanselir pada awal masa berdirinya Dinasty Han. Can Can ikut berpartisipasi membantu Liu Bang dalam perang perebutan kekuasaan antara negara Chu dan Negara Han, sehingga dia adalah salah satu pejabat yang mempunyai peranan penting pada masa awal pendirian Dinasty Han.
  4. Kasim adalah seseorang yang telah kehilangan kesuburannya karena telah dikebiri sebelum memasuki dan bekerja di istana sehingga tidak bisa memiliki keturunan. Kakek Cao Cao adalah seorang kasim, dan ayah Cao Cao adalah anak angkat dari seorang kasim. 
  5. Mengzi atau Mencius (372 – 289 SM), adalah seorang filsuf yang sering disandingkan dengan Confusius yang hidup pada Zaman Negara-Negara Berperang (Warring States Period). Mengzi adalah murid generasi keempat dari Confusius.
  6.  (Lǐ) sering diterjemahkan sebagai etika atau sopan santun dalam Bahasa Indonesia. Dalam kebudayaan China, Lǐ adalah salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Lǐ mencakup banyak hal antara lain seperti misalnya penghormatan kepada senior, leluhur, tokoh yang berjasa dan sebagainya. Bahkan dalam hubungan antar anggota keluarga menjadi faktor dominan. Selain itu etika berperan dalam ritual dan juga suatu fondasi bagi pembentukan ahlak.
  7. Tàizǔ secara harfiah bisa diartikan sebagai nenek moyang. Tàizǔ di sini lebih diartikan sebagai panggilan kehormatan untuk Kaisar pendiri pertama, dalam hal ini walaupun kaisar pertama negara Wei adalah Cao Pi, namun Cao Pi mengangkat Cao Cao sebagai Kaisar Wu (Emperor Wu) secara anumerta.
  8. Sanguo Yanyi adalah Romance of the Three Kingdoms atau Novel Kisah Tiga Negara karya Luo Guanzhong.
  9. Perang Chibi adalah Perang yang terjadi pada tahun 208 – 209 M antara aliansi gabungan pasukan Sun Quan, Liu Bei dan Liu Qi melawan hegomoni kekuasan Cao Cao. Perang ini dimenangkan oleh pihak aliansi Sun Quan, Liu Bei dan Liu Qi yang mengkukuhkan kekuasaan mereka pada China bagian Selatan Sungai Yangtze.
  10. Sun Liu adalah frasa gabungan antara Sun Quan dan Liu Bei. Di sini berarti aliansi antara Sun Quan dan Liu Bei.
  11. Xiào ào jiānghú secara harfiah berarti dengan hati bebas menertawakan dunia persilatan. Dalam tradisi budaya China Kuno, banyak para pendekar yang berkelana di dunia persilatan dengan bebas tanpa terikat oleh aturan atau norma. Dalam hal ini Cao Cao juga digambarkan sebagai seorang yang berhati bebas dan tidak peduli dengan aturan norma, tidak peduli apa kata orang lain, dan hanya mengikuti kata hatinya walaupun bertentangan dengan aturan norma yang ada pada zaman itu.
  12. Dian Wei adalah seorang Jendral Militer pada akhir zaman Dinasti Han yang melayani Cao Cao. Dian Wei merupakan salah satu Jendral kesayangan Cao Cao yang terkenal akan kekuatan dan keberaniannya. Dian Wei tewas dalam Pertempuran Wancheng ketika melindungi Cao Cao dari pemberontakan Zhang Xiu. Konon katanya setiap kali Cao Cao melewati kuburan Dian Wei, Cao Cao selalu berhenti dan menangisi kepergian Dian Wei. Sedangkan Guo Jia adalah salah satu penasehat terpenting bagi Cao Cao. Guo Jia meninggal muda dalam usia 37. Ketika Cao Cao mengalami kekalahan perang Chibi, Cao Cao kembali teringat akan Guo Jia dan menangis tersedu-sedu sambil mengatakan, seandainya Guo Jia masih hidup, tentu aku tidak mungkin kalah seperti ini.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama