Pernah kita berpikir kita bisa menjadi seorang yang benar-benar percaya dengan ilmu pengetahuan dan dalam waktu yang sama juga menjadi seorang yang spiritual?
Sebagai seorang yang lahir di kampung kecil
yang jauh dari gemerlapan kota, saya mengalami banyak perubahan pandangan terhadap
arti dari sebuah kehidupan. Ketika saya kecil, saya tinggal di kampung yang
bahkan tidak ada mobilnya, yang bahkan sepeda motor hanya mampu dimiliki oleh
orang yang berada saja. Saya ingat dengan jelas rumah saya pertama kali
mendapat aliran listrik ketika saya berusia 6 tahun, tepatnya ketika beberapa bulan
setelah saya masuk kelas 1 SD. Dan di rumah kami baru ada yang namanya TV
ketika saya sudah masuk kelas 4 SD.
Selama lebih dari 18 tahun di dalam
kehidupan saya, saya tidak pernah meninggalkan desa kecil tempat dimana saya
dilahirkan. Jangankan berbicara tentang naik kendaraan umum, mobil saja jarang
terlihat melintas di kampung saya pada saat itu. Saya selalu ingat dengan jelas
setiap kali ada mobil yang melintas lewat di kampung saya, kami anak-anak akan
berlarian dan mengejar mobil tersebut.
Ketika saya masih kecil, saya sangat
mempercayai eksistensi Tuhan, dewa-dewi, hantu, dan sejenisnya. Masih teringat
jelas di dalam ingatku, ibu selalu rutin memasang dupa dan berdoa di altar
dewa-dewi dan leluhur dengan khusuknya setiap pagi dan sore. Begitu juga dengan
diriku, lahir dan tumbuh di lingkungan seperti ini tentu sangat mempengaruhi
pola pikirku. Setiap kali ada masalah, saya akan ikut memasang dupa untuk
berdoa. Saya ingat dengan jelas pernah ketika saya mau berangkat ke sekolah,
saya melihat langit sudah mendung, dan saya gelisah karena takut kehujanan, ibu
saya menyarankan saya untuk membakar dupa dan berdoa ke dewa-dewa untuk menunda
hujan.
Di kampung saya, banyak hal sealu
dihubungkan dengan hal hal mistik. Budaya ini sudah mengakar sampai mendarah
daging di dalam setiap sendi kehidupan masyarakat di kampung saya. Sebagai contoh,
jika ada yang jatuh dari sepeda, maka yang terlintas di dalam pikiran orang
adalah mungkin leluhur yang sudah meninggal kurang makmur di alam sana. Maka
yang dilakukan adalah berdoa ataupun memberikan sesajen kepada leluhur.
Sampai hingga ketika saya SMP, saya mulai
mengenal ajaran agama Buddhism Maitreya (I Kuan Tao), saya mulai diajarkan
untuk mengenal yang namaya Tuhan Maha Esa, mengenal apa itu Buddha dan Dewa. Karena
pengaruh lingkungan sejak saya kecil, saya dengan cepat menerima semua doktrin akan
agama. Karena ajarannya yang lebih bersifat universal dan mengajarkan umatnya
untuk menghormati agama lain, saya belajar lebih banyak tentang agama lain
juga.
Selama lebih kurang 10 tahun, saya merasa
iman saya begitu kuat di agama yang satu ini sampai saya berpikir saya akan
selalu memegang teguh ajaran agama ini. Saya bisa melakukan ritual doa ini dan
itu jauh di atas semua umat-umat umum lainnya. Keyakinan ini begitu kuat hingga
sampai suatu saat saya membaca sebuah puisi yang mengubah hidup saya untuk
menjadi seorang atheis hingga hari ini. Semua pendirian saya runtuh luluh
lantak hancur seketika. Dan ironisnya, puisi yang saya baca adalah dari buku
yang ada di ajaran agama ini juga.
Sungguh butuh sebuah keberanian yang sangat
besar untuk keluar dari sebuah agama, terutama ketika Anda adalah seorang tokoh/pemuka
agama yang disegani di agama tersebut. Butuh waktu lebih kurang 2 tahun hingga
saya mengakui bahwa saya seorang atheis, itu pun hanya kepada sebagian kecil teman
dekat saja. Apalagi stigma tentang atheism di negeri ini masih selalu dianggap
sebagai orang jahat, tentu butuh sebuah keberanian yang lebih besar untuk
mengakui semua itu.
Menjalani hidup sebagai seorang atheis tidak
berarti saya tidak mendalami spiritual. Saya masih setia melakukan praktek mediatasi
dan melakukan perenungan tentang arti kehidupan ini. Selama belasan tahun hidup
sebagai seorang “Atheis Spiritual”, aku sempat berpikir mungkinkah ini jalan
hidupku? Tapi seiring dengan perjalanan waktu, seiring dengan semakin banyaknya
pengetahuan yang kita dapatkan, pandangan kita juga semakin berubah.
Pernah suatu ketika di dalam meditasiku saat
subuh, aku mendengar suara Adzhan subuh, dan aku merasakan sebuah energi yang
mendorongku untuk belajar tentang Islam juga.
Di sisi lain, dengan banyaknya buku tentang science yang aku baca, semakin
meruntuhkan keyakinan aku akan apa arti hidup. Dulu ketika aku masih beragama,
aku selalu yakin dan percaya kehidupan ini diciptakan oleh yang namanya Tuhan.
Namun kini pertanyaanku beda lagi, darimana asal kehidupan ini? Kenapa ada
kehidupan? Apakah benar semua itu terjadi begitu saja? Ah… rasanya sangat sulit
mengabungkan ide antara science dan spiritual. Adakah masih tersisa sebuah
kesempatan bagiku untuk menemukan semua jawaban atas pertanyaan ini?
Akhir-akhir ini aku membaca dua buku yang
benar-benar mengubah semua persepsi aku tentang alam semesta dan tentang
kehidupan. Kedua buku itu adalah “A Brief History of Time” karya Stephen
Hawking dan “Sapiens: A Brief History of Humankind” karya Yuval Noah Harari.
Kedua buku ini benar-benar sekali lagi meruntuhkan semua keyakinan dan persepsi
diriku terhadap alam semesta dan terhadap arti daripada sebuah kehidupan.
Lalu akankah aku menemukan semua jawaban
yang masih menjadi misteri ini?
Posting Komentar