Pentingnya Sebuah Pengetahuan

Dua hari yang lalu saya kedatangan dua orang teman yang berkunjung dari Batam ke Jakarta. Kebetulan kedua temanku ini juga menganut pola makan vegetarian. Karena mereka menganut pola makan vegetarian, akhirnya aku membawa mereka untuk makan di salah satu rumah makan vegan yang dibuka oleh seorang pakar gizi vegan di Jakarta.

Ketika saya tiba di rumah makan tersebut, rasanya saya merasa sangat miris melihat semua menu yang ditawarkan. Bukan karena menunya tidak enak, tapi karena komposisi makanan (kandungan gizi) yang ditawarkan. Rata-rata menu yang ditawarkan hanya berupa makanan yang enak di lidah tapi tidak menggandung gizi yang cukup (menurut saya). Rata-rata makanan yang ditawarkan hanya berupa curry rice, mie laksa, hamburger, nasi katsu dan sejenisnya. Rata-rata makanan seperti ini adalah makanan yang high carbo,  low protein dan low serat. Yach, rata-rata makanan seperti ini hanya terdiri dari sepiring nasi, dua potong kecil tempe, dua potong kecil tahu, dan sepotong daging buatan yang tinggi natrium, dan paling banyak hanya sehelai daun sayuran untuk penghias aja. Lalu pertanyaannya dimana nilai gizinya untuk makanan seperti ini? Jujur aku merasa sangat kecewa, apalagi karena rumah makan ini dibuka oleh seorang pakar gizi vegetarian.

Sebagai seorang yang sangat memperhatikan pola makan dalam keseharianku, jujur aku merasa sangat miris dengan rata-rata kondisi rumah makan vegetarian dewasa ini. Mungkin karena tuntutan akan rasa, rata-rata rumah makan dan restoran vegetarian dewasa ini lebih mengutamakan rasa ketimbang nilai gizi. Rata-rata menu makanan di rumah makan vegetarian sudah jauh dari arti kata sehat yang notabene identik dengan pola makan vegetarian.

Saya teringat beberapa tahun yang lalu saya pernah mengenal seorang senior yang telah menganut pola makan sehat vegetarian selama puluhan tahun. Yach, tentu saja itu adalah pola makan sehat versi dia. Dia dengan bangga mengatakan pada diriku bahwa dia menganut pola makan vegetarian yang sehat dengan banyak makan sayuran dan buah-buahan. Bahkan dia telah bertahun-tahun tidak makan micin penyedap rasa, dan menggantinya dengan gula. Alasanya adalah karena menurut dia micin itu tidak sehat dan gula itu lebih sehat. Saya sempat berdebat dengan dirinya, tapi dia ngotot merasa bahwa gula itu lebih sehat dibandingkan dengan micin. Ah… rasanya sangat miris mengingat kejadian ini. Sekarang kita semua tahu bahwa sumber utama kebanyakan penyakit dewasa ini berasal dari gula yang berlebihan. Bahkan diabetes yang disebabkan oleh gula yang berlebihan merupakan salah satu pembunuh nomor satu di dunia saat ini.

Data WHO tahun 2019 menyatakan ada sekitar 1,5 juta orang di seluruh dunia yang meninggal karena diabetes tahun 2019 dan 2,2 juta orang meninggal karena glukosa darah tinggi. Perkiraan ada sekitar 463 juta orang hidup dengan diabetes di tahun 2019. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah kematian yang disebabkan oleh kelaparan sebanyak 3,1 juta orang, dan sekitar 113 juta orang di seluruh dunia menderita kelaparan.

Di sinilah pentingnya peranan akan sebuah pengetahuan. Banyak diantara kita yang kekurangan pengetahuan tentang kesehatan, begitu juga tentang kesehatan sehingga kita tidak memperhatikan pola hidup kita. Diriku bukanlah seorang idealis yang mewajibakan diri sendiri harus ini dan itu. Aku selalu sebisa mungkin menerapkan pola hidup yang lebih sehat yang bisa kuterapkan dalam hidup ini. Tentu saja ilmu tentang kesehatan itu hampir sama seperti ilmu agama yang tidak bisa dipaksakan ke orang lain. Setiap orang tentu saja mempunyai pandangan tersendiri tentang apa yang disebut dengan pola hidup sehat, dan tentu saja aku juga tidak bisa memaksakan pola gaya hidupku ke orang lain.

Diriku memang menerapkan pola gaya hidup intermittent fasting dengan jendela makan antara jam 10 pagi hingga sekitar jam 4 sore. Tapi tentu saja aku juga selalu fleksible ketika aku kedatangan tamu yang harus sarapan di pagi hari, ataupun harus makan di malam hari, aku masih selalu menemani mereka makan.

Tentu saja aku tidak bisa memaksakan gaya intermittent fasting ini pada orang lain, karena belum tentu orang lain memandang pola gaya hidup ini sebagai gaya hidup yang sehat. Bagi kebanyakan orang tua jaman dulu, sehari makan tiga kali adalah hal yang sangat penting. Aku ingat dulu ketika diriku masih kecil, orang tuaku sangat menekankan untuk bisa makan sehari tiga kali walau semiskin apapun hidup kami pada saat itu. Jika ayahku masih hidup dan melihat pola makanku saat ini, mungkin aku harus berdebat sampai tiada ujung dengan dirinya. Karena menurutnya makan itu sangat penting untuk kesehatan, tapi diriku yang saat ini malah menganut pola pikir yang sebaliknya. Lalu siapa yang benar? Tidak ada siapapun yang benar menurutku, yang benar hanyalah konsep pengetahun apa yang telah tertanam di dalam diri kita.

Salam sehat untuk kita semua.

Nb. Tidak ada maksud dari diriku untuk menyinggung pihak manapun dalam artikel ini, sehingga aku tidak menyebutkan nama restoran vegetarian yang aku kunjungi kemarin.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama